Wonosobo
terkenal dengan kota yang eksotik dan mistik. Salah satu bukti adanya ruwatan
rambut gimbal. Karena ketertarikanku terhadap budaya, Ruwatan rambut gimbal
inilah yang membuatku ingin menguak misteri di dalamnya. Berbagai mitos yang
sudah menjadi kepercayaan masyarakat sekitar, seolah-olah menjadi benar adanya.
Sehingga aku mencari berbagai sumber dan melakukan wawancara dengan beberapa warga
sekitar. Menurut kepercayaan masyarakat Dieng, anak yang berambut gimbal
merupakan titisan Kyai Kolodete yang merupakan nenek moyang masyarakat Dieng.
Bermula dari kisah Ki Kolodete dan Nini Roro Ronce (istrinya) melakukan babat
Dieng menjadi pemukiman. Versi lain menyebutkan suatu kali Ki
Kolodete bersumpah tidak akan memotong rambutnya dan tidak akan mandi sebelum
desa menjadi makmur dan sejahtera. Kelak kalau keturunannya mempunyai ciri
rambut gembel, ini menjadi pertanda desanya mengalami kemakmuran.
Mitosnya,
bahwa rambut gembel anak-anak Dieng dianggap sebagai bala (petaka) sehingga
anak yang telah dipangkas rambut gembelnya dipercayai akan menjadi anak baik
yang panjang umur dan banyak rezeki. Tapi untuk memotong rambut gimbalnya harus
menuruti keinginan si anak. Jika dilakukan tanpa permintaannya, maka akan jatuh
sakit dan rambutnya gimbal kembali. Untuk membuang malapetaka itu, masyarakat
sekitar melakukan ruwatan dengan mencukur rambut gembelnya melalui serangkaian
ritual. Ritual itu biasanya masuk dalam acara Dieng Culture Festival setiap
tahunnya.
Namun
ada serangkaian ritual ruwatan rambut gembel yang berbeda dari festival itu.
Yaitu ritual yang diadakan di desa Patakbanteng. Aku mengetahuinya ketika ada event lomba mendongeng sejarah lokal Wonosobo
untuk pelajar dan membuat resep makanan dari jamur dan/ carica dalam rangka HUT
Perpusda Wonosobo yang ke-25 dan Tirto Utomo Award VI. Dalam lomba tersebut ada
peserta yang menyampaikan tentang “Ruwatan rambut gimbal di Patakbanteng”, dia
bernama Muhammad Al Farizi Masaid, biasa dipanggil Rizi. Seorang anak berambut
gimbal yang menjadi ikonnya anak rambut gimbal Dieng.
Rizi menerima hadiah, mendapat juara 2
Ketika
Rizi bercerita di depan sambil membawa properti yang berhubungan dengan isi
yang akan disampaikan, dengan beraninya ia menceritakan semua proses ritual
ruwatan rambut gembel di desanya, Patakbanteng. Menurutnya, masyarakat desa
Patakbanteng lebih suka memilih ruwatan di rumah sendiri, karena merasa kasihan
kepada anak yang akan diruwat. Ritual dimulai dengan memandikan atau membilas
anak berambut gembel oleh dukun pemimpin upacara untuk disucikan. Air yang
digunakan untuk membilas diambil dari tempat-tempat keramat di daerah Dieng,
seperti dari Gua Sumur atau Tuk Bima Lukar. Sebelum pemotongan rambut gembel,
pihak keluarga mengadakan selamatan (kenduri) dengan mengundang warga sekitar.
Lalu tahlil dipimpin oleh seorang Kyai yang ditujukan kepada Kyai Kolodete dan
Nini Roro Ronce. Kemudian berdoa ditujukan kepada anak yang diruwat agar
selamat dari marabahaya.
Dalam upacara ruwatan, terdapat
beberapa bucu yang diletakkan di atas tampah (nampan). Yaitu Bucu Robyang, Bucu Kelung, Bucu
Sangga Buana, Bucu Tulak, Bucu Panggang, Bucu Kupata, dan Rakan atau makanan
tradisional jajan pasar.
Setelah tahlilan dan doa selesai
dibaca, anak yang diruwat akan dicukur oleh orang-orang yang hadir dalam
upacara tersebut. Namun orang yang mencukur sesuai dengan permintaan si anak.
Bila yang diminta anak lebih dari satu, maka mencukurnya sedikit demi sedikit
secara bergantian hingga rambutnya yang gembel habis.
Setelah dicukur, anak akan membawa
wadah, kemudian berkeliling menuju hadirin yang datang. Lalu hadirin akan
memberikan uang seikhlasnya dengan meletakkan uangnya di wadah yang dibawa anak
tersebut.
Proses terakhir adalah pelarungan
rambut gembel. Potongan rambut gembel yang sudah dicukur akan dilarung
(dibuang) ke sungai Spingit yang alirannya menuju sungai Serayu, sungai
tersebut mengalir sampai laut selatan.
Pelarungan potongan rambut
gimbal ke sungai menyimbolkan
pengembalian bala (kesialan) yang dibawa anak kepada para dewa dan Nyi Roro
Kidul. Dalam pelarungan, potongan rambut gembelnya diletakkan dalam mangkok
yang berisi bunga tujuh rupa dengan istilah kembang mboreh.
Itulah serangkaian upacara ruwatan rambut gimbal di desa Patakbanteng.
Hampir sama seperti yang dilakukan di Dieng waktu festival, meskipun ada
sedikit perbedaan. Bila di Dieng masih menggunakan adat kejawen, masyarakat
desa Patakbanteng memasukkan cara-cara Islami namun tanpa menghilangkan adat
Jawa yang sudah turun temurun.
Cerita dari Rizi itu aku rangkum. Kebetulan temanku, yang bernama
Imroatun telah melatihnya, sehingga Rizi mendapat juara 2. Menurut
Imroatun, sebelum lomba, dia telah melakukan wawancara kepada orang tua Rizi
dan masyarakat sekitar tentang ritual ruwatan rambut gimbal di Patakbanteng.
Hasil wawancara ia tuangkan ke dalam tulisan, lalu menyuruh Rizi untuk
menyampaikannya saat lomba. Setiap harinya Imroatun meluangkan waktunya untuk
melatih Rizi sepulang sekolah. Tidak sia-sia usahanya telah membuahkan hasil.
Rizi & Imroatun
Aku
jadi teringat bahwa dahulu orang yang mempunyai anak berambut gembel merupakan
suatu aib, sehingga harus diruwat karena dianggap akan mendatangkan bala
(petaka). Namun, seiring berkembangnya zaman, sepertinya anggapan itu telah
memudar. Karena sekarang anak yang berambut gimbal akan dicari dengan adanya
tradisi ruwatan itu. Semoga tradisi kota Wonosobo ini selalu dilestarikan untuk
menarik wisatawan.