Kamis, 28 Mei 2015

RUWATAN RAMBUT GIMBAL DI DESA PATAKBANTENG

Wonosobo terkenal dengan kota yang eksotik dan mistik. Salah satu bukti adanya ruwatan rambut gimbal. Karena ketertarikanku terhadap budaya, Ruwatan rambut gimbal inilah yang membuatku ingin menguak misteri di dalamnya. Berbagai mitos yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat sekitar, seolah-olah menjadi benar adanya. Sehingga aku mencari berbagai sumber dan melakukan wawancara dengan beberapa warga sekitar. Menurut kepercayaan masyarakat Dieng, anak yang berambut gimbal merupakan titisan Kyai Kolodete yang merupakan nenek moyang masyarakat Dieng. Bermula dari kisah Ki Kolodete dan Nini Roro Ronce (istrinya) melakukan babat Dieng menjadi pemukiman. Versi lain menyebutkan suatu kali Ki Kolodete bersumpah tidak akan memotong rambutnya dan tidak akan mandi sebelum desa menjadi makmur dan sejahtera. Kelak kalau keturunannya mempunyai ciri rambut gembel, ini menjadi pertanda desanya mengalami kemakmuran.
Mitosnya, bahwa rambut gembel anak-anak Dieng dianggap sebagai bala (petaka) sehingga anak yang telah dipangkas rambut gembelnya dipercayai akan menjadi anak baik yang panjang umur dan banyak rezeki. Tapi untuk memotong rambut gimbalnya harus menuruti keinginan si anak. Jika dilakukan tanpa permintaannya, maka akan jatuh sakit dan rambutnya gimbal kembali. Untuk membuang malapetaka itu, masyarakat sekitar melakukan ruwatan dengan mencukur rambut gembelnya melalui serangkaian ritual. Ritual itu biasanya masuk dalam acara Dieng Culture Festival setiap tahunnya.
Namun ada serangkaian ritual ruwatan rambut gembel yang berbeda dari festival itu. Yaitu ritual yang diadakan di desa Patakbanteng. Aku mengetahuinya ketika ada event lomba mendongeng sejarah lokal Wonosobo untuk pelajar dan membuat resep makanan dari jamur dan/ carica dalam rangka HUT Perpusda Wonosobo yang ke-25 dan Tirto Utomo Award VI. Dalam lomba tersebut ada peserta yang menyampaikan tentang “Ruwatan rambut gimbal di Patakbanteng”, dia bernama Muhammad Al Farizi Masaid, biasa dipanggil Rizi. Seorang anak berambut gimbal yang menjadi ikonnya anak rambut gimbal Dieng.

Rizi menerima hadiah, mendapat juara 2

Ketika Rizi bercerita di depan sambil membawa properti yang berhubungan dengan isi yang akan disampaikan, dengan beraninya ia menceritakan semua proses ritual ruwatan rambut gembel di desanya, Patakbanteng. Menurutnya, masyarakat desa Patakbanteng lebih suka memilih ruwatan di rumah sendiri, karena merasa kasihan kepada anak yang akan diruwat. Ritual dimulai dengan memandikan atau membilas anak berambut gembel oleh dukun pemimpin upacara untuk disucikan. Air yang digunakan untuk membilas diambil dari tempat-tempat keramat di daerah Dieng, seperti dari Gua Sumur atau Tuk Bima Lukar. Sebelum pemotongan rambut gembel, pihak keluarga mengadakan selamatan (kenduri) dengan mengundang warga sekitar. Lalu tahlil dipimpin oleh seorang Kyai yang ditujukan kepada Kyai Kolodete dan Nini Roro Ronce. Kemudian berdoa ditujukan kepada anak yang diruwat agar selamat dari marabahaya.

Dalam upacara ruwatan, terdapat beberapa bucu yang diletakkan di atas tampah (nampan). Yaitu Bucu Robyang, Bucu Kelung, Bucu Sangga Buana, Bucu Tulak, Bucu Panggang, Bucu Kupata, dan Rakan atau makanan tradisional jajan pasar.
Setelah tahlilan dan doa selesai dibaca, anak yang diruwat akan dicukur oleh orang-orang yang hadir dalam upacara tersebut. Namun orang yang mencukur sesuai dengan permintaan si anak. Bila yang diminta anak lebih dari satu, maka mencukurnya sedikit demi sedikit secara bergantian hingga rambutnya yang gembel habis.
Setelah dicukur, anak akan membawa wadah, kemudian berkeliling menuju hadirin yang datang. Lalu hadirin akan memberikan uang seikhlasnya dengan meletakkan uangnya di wadah yang dibawa anak tersebut.
Proses terakhir adalah pelarungan rambut gembel. Potongan rambut gembel yang sudah dicukur akan dilarung (dibuang) ke sungai Spingit yang alirannya menuju sungai Serayu, sungai tersebut mengalir sampai laut selatan.  Pelarungan potongan rambut  gimbal  ke sungai menyimbolkan pengembalian bala (kesialan) yang dibawa anak kepada para dewa dan Nyi Roro Kidul. Dalam pelarungan, potongan rambut gembelnya diletakkan dalam mangkok yang berisi bunga tujuh rupa dengan istilah kembang mboreh.
Itulah serangkaian upacara ruwatan rambut gimbal di desa Patakbanteng. Hampir sama seperti yang dilakukan di Dieng waktu festival, meskipun ada sedikit perbedaan. Bila di Dieng masih menggunakan adat kejawen, masyarakat desa Patakbanteng memasukkan cara-cara Islami namun tanpa menghilangkan adat Jawa yang sudah turun temurun.

Cerita dari Rizi itu aku rangkum. Kebetulan temanku, yang bernama Imroatun telah melatihnya, sehingga Rizi mendapat juara 2. Menurut Imroatun, sebelum lomba, dia telah melakukan wawancara kepada orang tua Rizi dan masyarakat sekitar tentang ritual ruwatan rambut gimbal di Patakbanteng. Hasil wawancara ia tuangkan ke dalam tulisan, lalu menyuruh Rizi untuk menyampaikannya saat lomba. Setiap harinya Imroatun meluangkan waktunya untuk melatih Rizi sepulang sekolah. Tidak sia-sia usahanya telah membuahkan hasil.

Rizi & Imroatun

Aku jadi teringat bahwa dahulu orang yang mempunyai anak berambut gembel merupakan suatu aib, sehingga harus diruwat karena dianggap akan mendatangkan bala (petaka). Namun, seiring berkembangnya zaman, sepertinya anggapan itu telah memudar. Karena sekarang anak yang berambut gimbal akan dicari dengan adanya tradisi ruwatan itu. Semoga tradisi kota Wonosobo ini selalu dilestarikan untuk menarik wisatawan.


Postingan artikel ini diikutsertakan dalam ‪#NJFWonosobo2015